Peningkatan kualitas SDM pendidikan memang memenuhi beberapa kendala yang cukup sulit untuk di tuntaskan. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dunia pendidikan dan kapabilitas tenaga pendidikan.
a. Rendahnya Fasilitas Fisik
Melihat kondisi di lapangan, banyak sekali lokasi sekolah yang kurang memadai fasilitasnya, mulai dari gedung yang ambruk, lingkungan yang tidak mendukung, sampai bocornya ruang kelas. Tentu hal ini akan mengganggu konsentrasi belajar para siswa sehingga akan mengurangi efektivitas pengajaran.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
b. Rendahnya Kualitas Tenaga Pengajar
Pendidikan yang bermutu tentu dipengaruhi juga oleh tenaga pendidiknya, semakin baik pendidik maka akan semakin baik pengajaran. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Dilihat dari data, masih minimnya kualitas tenaga pendidik. Tentu hal ini akan memengaruhi kelayakan mengajar. Perubahan terus terjadi, teknologi terus diciptakan, jika tidak ada peningkatan kualitas tenaga pendidik maka efektivitas dari pengajaran pun akan semakin sulit dicapai.
c. Rendahnya Kesejahteraan Tenaga Pendidik
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta, guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam.
Melihat kondisi ini, tujuan dari pendidikan itu sendiri tidak sebanding dengan apresiasi terhadap tenaga pendidik. Tujuan pendidikan yang mulia tentu harus diimbangi dengan memerhatikan kesejahteraan dari para tenaga pendidik karena bisa saja faktor pendapatan yang minim akan menyebabkan para tenaga pendidik mengalami demotivasi.
3. Kontroversi Pelaksanaan UN
Pelaksanaan Ujian Nasional yang masih menjadi perdebatan hingga kini masih diragukan dalam menghasilkan SDM-SDM yang benar-benar berkompeten. Bagaimana tidak? Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Tentu ini menjadi suatu standar ukuran yang kurang valid jika kita ingin menilai semua aspek.
Ujian Nasional pun telah banyak menelan biaya. Sebagai referensi, pada tahun 2005 dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Transparansi keuangannya pun patut dipertanyakan, hal ini akan memicu terjadinya penyimpangan (korupsi) oleh pihak penyelenggara.
(http://rizaldp.wordpress.com)